Catastrophe in Ouriden - Mendung (1)

“Rand... Aira... kalian mau ke mana ?”

Seorang wanita berkata dengan khawatir karena melihat anak laki – laki dan perempuan berlari – lari menuju ke arah bukit.

Wajar sebagai orang dewasa melihat anak – anak menuju ke sana sendirian terlebih lagi ia merupakan ibu dari anak laki – laki tersebut. 

Anak perempuan yang bersama dengan putranya adalah keponakannya namun ia menganggapnya sebagai putrinya juga karena anak perempuan tersebut sudah tidak memiliki ibu.

Kedua anak tersebut berhenti dan berbalik setelah mendengar suara ibunya. Rand dengan bersemangat melambaikan tangannya, ia tidak mengetahui betapa khawatir ibunya karena melihat dirinya berada di sana.

“Kami ingin menemui paman Gil di bukit.”

Rand mengatakannya dengan bersemangat dan keras didukung oleh Aira yang berada di sebelahnya yang mengangguk setelah Rand mengatakannya. Mendengar orang yang disebutkan oleh putranya membuat kekhawatirannya mereda.

“Kalau begitu hati – hati... jangan sampai menjauh dari paman Gil !”

“Baik... Ayo Aira kita berlomba siapa yang paling cepat sampai ke paman Gil !”

Setelah mendengar nasihat dari ibunya Rand kembali berbalik dan berlari mendaki bukit yang tidak terjal dan dipenuhi oleh rerumputan itu.

“T-tunggu !”

Aira mengatakan itu dengan hampir menangis karena Rand tiba – tiba berlari terlebih dahulu, ia segera mengejar Rand yang berada jauh di depan.

Meskipun masih anak – anak, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk merasa santai seperti itu dan bermain – main. Bahkan sekarang mereka bukan sedang berada di tempat tinggal mereka.

Desa mereka yang berada di pesisir pantai seketika menjadi benteng pertahanan karena dalam satu tahun terakhir ini ada negeri lain yang berusaha memasuki wilayah negeri ini. Sampai sekarang mereka mengungsi di desa lain.

Namun orang – orang dewasa merasa akan terlalu kejam jika memaksakan kenyataan tersebut dan membuat anak – anak ikut merasakan ketakutan dari peperangan. Bagusnya pertahanan mereka sampai sekarang tidak dapat ditembus oleh kekuatan musuh.

“Paman Gil !”

Rand berlari dan memanggilnya dengan bersemangat. Ia menuju ke arah seorang pria dewasa yang sedang berbaring di sisi pohon besar di puncak bukit. Sepertinya ia sangat nyaman berbaring di sana karena menghirup udara yang segar dan terjaga dari sinar matahari oleh dedaunan yang rindang.

Matanya yang agak lengket terbuka perlahan. Ia sedang tertidur tadi dan suara yang memanggilnya telah membangunkannya.

Namun ia sama sekali tidak terganggu justru ia merasa suara itu sangat menenangkan hatinya. Ia segera bangkit dan melihat ke arah anak laki – laki yang menuju ke arahnya.

“Ayahhh...”

Yang mengatakan itu adalah anak perempuan yang berlari di belakang Rand. Pria tersebut semakin merasa senang saat melihat keduanya. Sudah beberapa hari ia tidak melihat keponakan dan putrinya.

Sekarang adalah hari dirinya dapat beristirahat dari tugasnya di benteng pertahanan. Karena suasana di sana yang tidak nyaman untuk beristirahat membuatnya pergi ke sini untuk beristirahat sekaligus memperhatikan keponakan dan putrinya dari kejauhan namun ia tidak menyangka mereka berdua dapat menemukan dirinya di sini.

“Ohh... kalian berdua. Bagaimana kalian dapat menemukanku ?”

Gil mengangkat tubuhnya lalu duduk bersandar di pohon di dekatnya menunggu mereka berdua mendekat.

“Tentu saja karena pendeteksi ayah milik Aira.”

Dengan sangat bersemangat Aira mengatakannya sambil mengangkat kedua tangannya. Merasa gemas dengannya, Gil mengarahkan tangannya ke sana dan mengangkat Aira ke dalam pangkuannya. Tentu saja hal itu membuat Aira semakin senang.

“Kami tadi melihat paman menuju ke sini.”

“Begitu ya... padahal aku tadi hanya ingin melihat kalian dari kejauhan...”

Gil mengatakannya seolah merasa dirinya telah dikalahkan namun di samping itu ia merasa senang dapat melihat mereka berdua secara dekat seperti ini.

“Paman, paman... ayo ajarkan aku menggunakan pedang sekarang !”

“Ajarkan Aira juga !”

Dengan bersemangat Rand dan Aira mengatakan itu. Gil terkejut mendengarnya. Pandangannya tertuju ke arah pedang miliknya yang bersandar di pohon. Sepertinya karena melihat itu mereka menjadi tiba – tiba mengatakan itu.

Gil menggelengkan kepalanya, tanda ia tidak setuju. Hal tersebut membuat wajah kedua anak tersebut menjadi kecewa.

Gil mengakui semangat mereka dan merasa itu penting untuk mereka demi menjaga diri sendiri dan orang lain namun hanya ada satu alasannya tidak ingin mengajari mereka sekarang. 

Bukan usia mereka yang masih terlalu muda melainkan jika mereka memiliki kemampuan bertarung meskipun masih muda mereka akan dipaksa untuk terjun pada peperangan.

“Kenapa ?”

Rand mengatakannya dengan agak sedih dalam meminta kejelasan terhadap pamannya, putrinya pun- Aira ikut menatapnya seperti itu.

Gil menghela napas lalu mengambil pedangnya dan menyimpannya di atas tanah di depan Rand. Awalnya Rand dan Aira merasa senang namun mereka dibuat bingung karena Gil menaruh pedangnya di sana.

“Baiklah, aku akan mengajari kalian jika kalian dapat mengangkat pedang milikku ini !”

Terdengar seolah Gil telah memberikan harapan terhadap mereka namun sebenarnya ia mempersulit mereka. Pedang miliknya bukanlah pedang biasa tentu anak – anak seperti mereka tidak akan dapat mengangkatnya.

Dengan semangat yang berapi – api Rand segera mengarahkan kedua tangannya pada pegangan pedang tersebut. Ia berhasil sedikit mengangkat pegangannya namun sekuat apa pun Rand berusaha mengangkatnya, ia hanya dapat sebatas itu.

Tangan Rand melemas dan ia melepaskan pedang tersebut lalu terbaring di sana dengan napas yang tidak teratur.

“Hahaha... kau masih belum memenuhi syarat Rand...”

Gil tertawa puas, bukan karena melihat Rand gagal namun ekspresinya sangat lucu saat ia berusaha untuk mengangkat pedang itu.

“Aira juga akan mencobanya !”

“Oh, kau juga akan mencobanya ?”

Aira segera menghampiri pedang tersebut dan berusaha untuk mengangkatnya. Gil merasa agak terkejut karena tak menyangka putrinya tetap akan mencobanya meskipun telah melihat Rand gagal, ia merasa bangga dengan hal itu.

Namun tidak seperti Rand yang mampu mengangkatnya sedikit, Aira sama sekali tidak membuat pedang itu terangkat.

“Humphhh...”

Aira mengeluarkan ekspresi dan suara yang lucu. Hal tersebut membuat Gil tak tahan karena kegemasannya.

Tiba – tiba sebuah cahaya yang sangat silau muncul lalu disusul oleh suara ledakan yang sangat mengerikan dan memekakkan telinga. Hal tersebut menghancurkan ketenangan hati Gil dan seketika membuat Rand dan Aira menjadi sangat ketakutan.

Gil segera mengambil pedangnya dan melihat sekitarnya. Cahaya silau tersebut segera lenyap, seolah dipindahkan begitu saja desa di bawah bukit seketika lenyap begitu saja− atau mungkin dilenyapkan tanpa jejak. Yang terlihat di sana hanya tanah yang terlihat memerah dan mengeluarkan asap karena terbakar.

Pemandangan yang sebelumnya cerah begitu saja menjadi semakin gelap karena asap yang terus mengepul.

“T-tidak mungkin...”

Ia berusaha untuk tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Sebelum cahaya tersebut muncul ia yakin desa tempat orang – orang mengungsi ada di sana. 

Bukan arah sana saja yang berubah menjadi pemandangan mengerikan seperti itu namun di beberapa titik lain juga mengalami hal yang sama sepertinya sebuah keberuntungan bukit ini tidak terkena cahaya itu.

“I-ibu...”

Hanya satu apa yang ada di pikiran Rand sekarang. Ibunya berada di desa itu dan jika desa itu telah diratakan maka mustahil ibunya selamat, namun hal tersebut terlalu berat untuk diterima oleh Rand, ia yakin ibunya masih ada berada di sana. Sedangkan Aira hanya terdiam dengan mata yang kosong karena sangat terkejut.

Air mata dengan deras menetes dari matanya dan seolah bergerak dengan sendiri kakinya mencoba untuk melangkah ke arah desa yang telah hancur namun Gil menghentikannya.

“Lepaskan aku paman ! ibu masih ada di sana ! kita harus segera menjemputnya !”

Dengan tidak karuan Rand mengatakan itu sambil menangis. Gil tidak dapat berkata apa – apa, ia juga masih tidak dapat menerima kenyataan ini.

Gil perlahan melihat ke arah belakangnya di mana benteng pertahanan tempatnya bertugas ada cukup jauh di sana sambil menahan Rand.

Namun sebelum ia melihatnya sesuatu yang silau menghalanginya. Cahaya itu muncul lagi dan arahnya adalah ke sini, sepertinya tidak akan sempat untuk melarikan diri karena cahaya itu bukan hanya ada satu, kemungkinan mereka akan terkena cahaya yang lain saat menghindari cahaya tersebut.

Gil menutup kedua matanya rapat – rapat, ia menyerah karena merasa tidak ada yang dapat ia lakukan.

Suara ledakan keras yang beruntun terdengar oleh telinganya, saat cahaya yang mengarah ke arahnya sampai maka mereka akan mati. Namun setelah suara ledakan berhenti ia masih dapat mendengar tangisan dari Rand.

Secara perlahan Gil membuka matanya.

“Jangan menyerah begitu saja, Gil !”

Ia menemukan sosok pria dengan pose seolah telah menangkis sesuatu dengan pedangnya. Pria itu berkata seolah agak merasa kecewa dengan Gil.

“Kakak... m-maafkan aku... istrimu...”

Dengan sangat merasa bersalah Gil mengatakan itu. Namun pria tersebut menggelengkan kepalanya.

“A-ayah... cepat selamatkan ibu...”

Rand yang baru menyadari keberadaan pria tersebut yang merupakan ayahnya memintanya untuk menyelamatkan ibunya yang tentu sudah merupakan hal yang mustahil.

“Jangan menangis Rand ! sebagai manusia kita harus siap akan hal itu... namun kau tidak boleh mati di sini...”

Dengan suara yang cukup tegas ayah Rand mengatakannya.

“Kakak... sebenarnya apa yang terjadi ?”

Gil menanyakannya dengan gemetar sambil memperhatikan pemandangan mengerikkan yang ada di arah pesisir.

Di sana muncul ledakkan di mana – mana dan ia melihat sebuah bayangan makhluk raksasa dengan matanya yang menyala merah mengamuk dan menghancurkan benteng pertahanan mereka. 

Samar – samar ia mendengar suara dengung di udara, di sana ia melihat sekumpulan benda besar melayang di sana. 

Matanya yang memiliki kemampuan khusus dapat melihat jarak jauh dan dapat melihat sebuah lambang yang tak asing baginya pada benda – benda melayang tersebut. Itu adalah lambang milik musuh.

Namun ia tidak percaya musuh tiba – tiba dapat memiliki kekuatan sebesar ini. Baru kali ini pertahanan mereka ditembus.

“Tidak ada banyak waktu untuk menjelaskannya namun yang pasti ini terjadi karena tiba – tiba roh besar Elthia menyerang kami setelah musuh menggunakan sebuah senjata aneh. Tempat ini sudah tamat. Gil, cepat pergi bersama anak – anak dari sini !”

“T-tapi bagaimana dengan kakak ?!”

“Aku sedang bertugas, jadi aku harus bertarung di sini sampai akhir hayatku. Kumohon Gil, cepat pergi dari sini !”

Gil tidak ingin meninggalkan kakaknya di sini namun karena ia tidak mampu untuk mengatasi kekuatan musuh yang besar ia hanya akan mati sia – sia. Rand dan Aira yang masih memiliki masa depan yang panjang tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Maka hanya ada satu pilihan untuk Gil.

“Lepaskan aku paman ! aku ingin bersama ayah !”

Rand berusaha untuk melepaskan diri karena Gil mengangkatnya ke dalam gendongannya bersama dengan Aira. Gil segera mengerahkan tenaganya untuk menendang tanah yang membuatnya melompat dengan tinggi.

“Ayahhhh....”

Rand memanggil ayahnya. Ayahnya menoleh ke arahnya lalu sambil tersenyum ia berkata.

“Jagalah dirimu dan ikuti pamanmu... ayah akan segera menyusul ibumu...”

Mendengar hal itu Rand merasa senang karena ayahnya akan menyelamatkan ibunya namun Rand membohongi dirinya sendiri.

Ia sadar ibunya tidak selamat dan maksud dari kata – katanya ayahnya pun sama bahwa ia juga tidak akan selamat. Hal itu membuat Rand semakin merasa sedih, begitu juga dengan Gil.

Ayah Rand tiba – tiba melompat dengan sangat tinggi dan tujuannya adalah benda – benda besar melayang milik musuh. Satu per satu benda melayang itu jatuh dan membuat suara ledakkan yang sangat besar.

Rand sudah tidak dapat melihat ayahnya lagi dan pandangannya perlahan – lahan menjadi kabur bersamaan dengan suara dering yang terdengar semakin keras.

...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »