“Rand... Aira... kalian mau ke mana ?”
Seorang wanita berkata
dengan khawatir karena melihat anak laki – laki dan perempuan berlari – lari
menuju ke arah bukit.
Wajar sebagai orang dewasa melihat anak – anak menuju ke sana sendirian terlebih lagi ia merupakan ibu dari anak laki – laki tersebut.
Anak perempuan yang bersama dengan putranya adalah keponakannya namun ia
menganggapnya sebagai putrinya juga karena anak perempuan tersebut sudah tidak
memiliki ibu.
Kedua anak tersebut
berhenti dan berbalik setelah mendengar suara ibunya. Rand dengan bersemangat
melambaikan tangannya, ia tidak mengetahui betapa khawatir ibunya karena
melihat dirinya berada di sana.
“Kami ingin menemui paman
Gil di bukit.”
Rand mengatakannya dengan
bersemangat dan keras didukung oleh Aira yang berada di sebelahnya yang
mengangguk setelah Rand mengatakannya. Mendengar orang yang disebutkan oleh
putranya membuat kekhawatirannya mereda.
“Kalau begitu hati –
hati... jangan sampai menjauh dari paman Gil !”
“Baik... Ayo Aira kita
berlomba siapa yang paling cepat sampai ke paman Gil !”
Setelah mendengar nasihat
dari ibunya Rand kembali berbalik dan berlari mendaki bukit yang tidak terjal
dan dipenuhi oleh rerumputan itu.
“T-tunggu !”
Aira mengatakan itu
dengan hampir menangis karena Rand tiba – tiba berlari terlebih dahulu, ia
segera mengejar Rand yang berada jauh di depan.
Meskipun masih anak –
anak, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk merasa santai seperti itu dan
bermain – main. Bahkan sekarang mereka bukan sedang berada di tempat tinggal
mereka.
Desa mereka yang berada di pesisir pantai seketika menjadi benteng
pertahanan karena dalam satu tahun terakhir ini ada negeri lain yang berusaha
memasuki wilayah negeri ini. Sampai sekarang mereka mengungsi di desa lain.
Namun orang – orang
dewasa merasa akan terlalu kejam jika memaksakan kenyataan tersebut dan membuat
anak – anak ikut merasakan ketakutan dari peperangan. Bagusnya pertahanan
mereka sampai sekarang tidak dapat ditembus oleh kekuatan musuh.
“Paman Gil !”
Rand berlari dan
memanggilnya dengan bersemangat. Ia menuju ke arah seorang pria dewasa yang
sedang berbaring di sisi pohon besar di puncak bukit. Sepertinya ia sangat
nyaman berbaring di sana karena menghirup udara yang segar dan terjaga dari
sinar matahari oleh dedaunan yang rindang.
Matanya yang agak lengket
terbuka perlahan. Ia sedang tertidur tadi dan suara yang memanggilnya telah
membangunkannya.
Namun ia sama sekali tidak terganggu justru ia merasa suara
itu sangat menenangkan hatinya. Ia segera bangkit dan melihat ke arah anak laki
– laki yang menuju ke arahnya.
“Ayahhh...”
Yang mengatakan itu
adalah anak perempuan yang berlari di belakang Rand. Pria tersebut semakin
merasa senang saat melihat keduanya. Sudah beberapa hari ia tidak melihat
keponakan dan putrinya.
Sekarang adalah hari
dirinya dapat beristirahat dari tugasnya di benteng pertahanan. Karena suasana
di sana yang tidak nyaman untuk beristirahat membuatnya pergi
ke sini untuk beristirahat sekaligus memperhatikan keponakan dan putrinya dari
kejauhan namun ia tidak menyangka mereka berdua dapat menemukan dirinya di
sini.
“Ohh... kalian berdua.
Bagaimana kalian dapat menemukanku ?”
Gil mengangkat tubuhnya
lalu duduk bersandar di pohon di dekatnya menunggu mereka berdua mendekat.
“Tentu saja karena
pendeteksi ayah milik Aira.”
Dengan sangat bersemangat Aira
mengatakannya sambil mengangkat kedua tangannya. Merasa gemas dengannya, Gil
mengarahkan tangannya ke sana dan mengangkat Aira ke dalam pangkuannya. Tentu
saja hal itu membuat Aira semakin senang.
“Kami tadi melihat paman
menuju ke sini.”
“Begitu ya... padahal aku
tadi hanya ingin melihat kalian dari kejauhan...”
Gil mengatakannya seolah
merasa dirinya telah dikalahkan namun di samping itu ia merasa senang dapat
melihat mereka berdua secara dekat seperti ini.
“Paman, paman... ayo
ajarkan aku menggunakan pedang sekarang !”
“Ajarkan Aira juga !”
Dengan bersemangat Rand
dan Aira mengatakan itu. Gil terkejut mendengarnya. Pandangannya tertuju ke
arah pedang miliknya yang bersandar di pohon. Sepertinya karena melihat itu
mereka menjadi tiba – tiba mengatakan itu.
Gil menggelengkan
kepalanya, tanda ia tidak setuju. Hal tersebut membuat wajah kedua anak
tersebut menjadi kecewa.
Gil mengakui semangat
mereka dan merasa itu penting untuk mereka demi menjaga diri sendiri dan orang
lain namun hanya ada satu alasannya tidak ingin mengajari mereka sekarang.
Bukan usia mereka yang masih terlalu muda melainkan jika mereka memiliki
kemampuan bertarung meskipun masih muda mereka akan dipaksa untuk terjun pada
peperangan.
“Kenapa ?”
Rand mengatakannya dengan
agak sedih dalam meminta kejelasan terhadap pamannya, putrinya pun- Aira ikut
menatapnya seperti itu.
Gil menghela napas lalu
mengambil pedangnya dan menyimpannya di atas tanah di depan Rand. Awalnya Rand
dan Aira merasa senang namun mereka dibuat bingung karena Gil menaruh pedangnya
di sana.
“Baiklah, aku akan
mengajari kalian jika kalian dapat mengangkat pedang milikku ini !”
Terdengar seolah Gil
telah memberikan harapan terhadap mereka namun sebenarnya ia mempersulit
mereka. Pedang miliknya bukanlah pedang biasa tentu anak – anak seperti mereka
tidak akan dapat mengangkatnya.
Dengan semangat yang berapi
– api Rand segera mengarahkan kedua tangannya pada pegangan pedang tersebut. Ia
berhasil sedikit mengangkat pegangannya namun sekuat apa pun Rand
berusaha mengangkatnya, ia hanya dapat sebatas itu.
Tangan Rand melemas dan
ia melepaskan pedang tersebut lalu terbaring di sana dengan napas yang tidak
teratur.
“Hahaha... kau masih
belum memenuhi syarat Rand...”
Gil tertawa puas, bukan
karena melihat Rand gagal namun ekspresinya sangat lucu saat ia berusaha untuk
mengangkat pedang itu.
“Aira juga akan
mencobanya !”
“Oh, kau juga akan
mencobanya ?”
Aira segera menghampiri
pedang tersebut dan berusaha untuk mengangkatnya. Gil merasa agak terkejut
karena tak menyangka putrinya tetap akan mencobanya meskipun telah melihat Rand
gagal, ia merasa bangga dengan hal itu.
Namun tidak seperti Rand
yang mampu mengangkatnya sedikit, Aira sama sekali tidak membuat pedang itu
terangkat.
“Humphhh...”
Aira mengeluarkan
ekspresi dan suara yang lucu. Hal tersebut membuat Gil tak tahan karena
kegemasannya.
Tiba – tiba sebuah cahaya
yang sangat silau muncul lalu disusul oleh suara ledakan yang sangat mengerikan
dan memekakkan telinga. Hal tersebut menghancurkan ketenangan hati Gil dan
seketika membuat Rand dan Aira menjadi sangat ketakutan.
Gil segera mengambil
pedangnya dan melihat sekitarnya. Cahaya silau tersebut segera lenyap, seolah
dipindahkan begitu saja desa di bawah bukit seketika lenyap begitu saja− atau
mungkin dilenyapkan tanpa jejak. Yang terlihat di sana hanya tanah yang
terlihat memerah dan mengeluarkan asap karena terbakar.
Pemandangan yang
sebelumnya cerah begitu saja menjadi semakin gelap karena asap yang terus
mengepul.
“T-tidak mungkin...”
Ia berusaha untuk tidak
mempercayai apa yang dilihatnya. Sebelum cahaya tersebut muncul ia yakin desa
tempat orang – orang mengungsi ada di sana.
Bukan arah sana saja yang berubah
menjadi pemandangan mengerikan seperti itu namun di beberapa titik lain juga
mengalami hal yang sama sepertinya sebuah keberuntungan bukit ini tidak terkena
cahaya itu.
“I-ibu...”
Hanya satu apa yang ada
di pikiran Rand sekarang. Ibunya berada di desa itu dan jika desa itu telah
diratakan maka mustahil ibunya selamat, namun hal tersebut terlalu berat untuk
diterima oleh Rand, ia yakin ibunya masih ada berada di sana. Sedangkan Aira
hanya terdiam dengan mata yang kosong karena sangat terkejut.
Air mata dengan deras
menetes dari matanya dan seolah bergerak dengan sendiri kakinya mencoba untuk
melangkah ke arah desa yang telah hancur namun Gil menghentikannya.
“Lepaskan aku paman ! ibu
masih ada di sana ! kita harus segera menjemputnya !”
Dengan tidak karuan Rand
mengatakan itu sambil menangis. Gil tidak dapat berkata apa – apa, ia juga
masih tidak dapat menerima kenyataan ini.
Gil perlahan melihat ke
arah belakangnya di mana benteng pertahanan tempatnya bertugas ada cukup jauh
di sana sambil menahan Rand.
Namun sebelum ia
melihatnya sesuatu yang silau menghalanginya. Cahaya itu muncul lagi dan
arahnya adalah ke sini, sepertinya tidak akan sempat untuk melarikan diri
karena cahaya itu bukan hanya ada satu, kemungkinan mereka akan terkena cahaya
yang lain saat menghindari cahaya tersebut.
Gil menutup kedua matanya
rapat – rapat, ia menyerah karena merasa tidak ada yang dapat ia lakukan.
Suara ledakan keras yang
beruntun terdengar oleh telinganya, saat cahaya yang mengarah ke arahnya sampai
maka mereka akan mati. Namun setelah suara ledakan berhenti ia masih dapat
mendengar tangisan dari Rand.
Secara perlahan Gil
membuka matanya.
“Jangan menyerah begitu
saja, Gil !”
Ia menemukan sosok pria
dengan pose seolah telah menangkis sesuatu dengan pedangnya. Pria itu berkata seolah
agak merasa kecewa dengan Gil.
“Kakak... m-maafkan
aku... istrimu...”
Dengan sangat merasa
bersalah Gil mengatakan itu. Namun pria tersebut menggelengkan kepalanya.
“A-ayah... cepat
selamatkan ibu...”
Rand yang baru menyadari
keberadaan pria tersebut yang merupakan ayahnya memintanya untuk menyelamatkan
ibunya yang tentu sudah merupakan hal yang mustahil.
“Jangan menangis Rand !
sebagai manusia kita harus siap akan hal itu... namun kau tidak boleh mati di
sini...”
Dengan suara yang cukup
tegas ayah Rand mengatakannya.
“Kakak... sebenarnya apa
yang terjadi ?”
Gil menanyakannya dengan
gemetar sambil memperhatikan pemandangan mengerikkan yang ada di arah pesisir.
Di sana muncul ledakkan
di mana – mana dan ia melihat sebuah bayangan makhluk raksasa dengan matanya
yang menyala merah mengamuk dan menghancurkan benteng pertahanan mereka.
Samar
– samar ia mendengar suara dengung di udara, di sana ia melihat sekumpulan
benda besar melayang di sana.
Matanya yang memiliki
kemampuan khusus dapat melihat jarak jauh dan dapat melihat sebuah lambang yang
tak asing baginya pada benda – benda melayang tersebut. Itu adalah lambang
milik musuh.
Namun ia tidak percaya
musuh tiba – tiba dapat memiliki kekuatan sebesar ini. Baru kali ini pertahanan
mereka ditembus.
“Tidak ada banyak waktu
untuk menjelaskannya namun yang pasti ini terjadi karena tiba – tiba roh besar
Elthia menyerang kami setelah musuh menggunakan sebuah senjata aneh. Tempat ini
sudah tamat. Gil, cepat pergi bersama anak – anak dari sini !”
“T-tapi bagaimana dengan
kakak ?!”
“Aku sedang bertugas,
jadi aku harus bertarung di sini sampai akhir hayatku. Kumohon Gil, cepat pergi
dari sini !”
Gil tidak ingin
meninggalkan kakaknya di sini namun karena ia tidak mampu untuk mengatasi
kekuatan musuh yang besar ia hanya akan mati sia – sia. Rand dan Aira yang
masih memiliki masa depan yang panjang tidak dapat menyelamatkan dirinya
sendiri. Maka hanya ada satu pilihan untuk Gil.
“Lepaskan aku paman ! aku
ingin bersama ayah !”
Rand berusaha untuk
melepaskan diri karena Gil mengangkatnya ke dalam gendongannya bersama dengan
Aira. Gil segera mengerahkan tenaganya untuk menendang tanah yang membuatnya
melompat dengan tinggi.
“Ayahhhh....”
Rand memanggil ayahnya.
Ayahnya menoleh ke arahnya lalu sambil tersenyum ia berkata.
“Jagalah dirimu dan ikuti
pamanmu... ayah akan segera menyusul ibumu...”
Mendengar hal itu Rand
merasa senang karena ayahnya akan menyelamatkan ibunya namun Rand membohongi
dirinya sendiri.
Ia sadar ibunya tidak selamat dan maksud dari kata – katanya
ayahnya pun sama bahwa ia juga tidak akan selamat. Hal itu membuat Rand semakin
merasa sedih, begitu juga dengan Gil.
Ayah Rand tiba – tiba
melompat dengan sangat tinggi dan tujuannya adalah benda – benda besar melayang
milik musuh. Satu per satu benda melayang itu jatuh dan membuat suara ledakkan
yang sangat besar.
Rand sudah tidak dapat
melihat ayahnya lagi dan pandangannya perlahan – lahan menjadi kabur bersamaan
dengan suara dering yang terdengar semakin keras.
...