“Ekhhh...”
Perasaannya bangun tidur
pagi ini benar – benar sangat tidak nyaman. Rand melihat ke arah benda yang
berada di atas meja di sisi kasurnya yang berdering dengan keras setelah
membuka matanya.
Namun perasaan tidak
nyamannya ini bukan karena suara dari benda itu. Melainkan mimpi yang baru saja
ia alami. Itu bukanlah mimpi yang bagus, itu adalah mimpi terburuk yang pernah
ia alami.
Rand beranjak dari tempat
tidurnya sambil memegang kepalanya yang terasa cukup pusing. Sepertinya
mimpinya itu terasa telah sangat membebani kepalanya.
Ia segera membuat benda
yang berdering itu berhenti. Lalu pandangannya tertuju ke arah sebuah cermin
yang memperlihatkan seorang laki – laki remaja dengan rambut hitam kemerahan
yang acak-acakan, itu adalah pantulan
dirinya.
Rand terkejut saat menyadarinya, pipinya basah dan matanya tak henti untuk mengeluarkan air mata.
Rand terkejut saat menyadarinya, pipinya basah dan matanya tak henti untuk mengeluarkan air mata.
Tidak seperti dalam
mimpinya di mana ia dalam wujud anak – anak, sekarang penampilannya adalah
seorang laki – laki remaja. Tentu ini adalah hal yang memalukan jika ia dilihat
oleh orang lain jika ia sedang menangis.
Namun Rand kembali
teringat dengan mimpinya− tidak, ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Itu
bukanlah mimpi melainkan ingatannya pada masa lalu yang muncul kembali dalam
mimpinya dan entah sudah berapa kali mimpinya seperti ini. Akhir – akhir ini ia
selalu memimpikan pengalaman buruknya di masa lalu.
“I-ibu... ayahhh...”
Rand tidak dapat menahan
rasa sedihnya, ia membiarkan tangisannya meluap. Mimpinya itu membuat
ingatannya mengenai peristiwa terburuk itu seolah baru terjadi kemarin.
Hal itu benar – benar
terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Pengalaman terburuk Rand tidak
berhenti pada saat itu, banyak hal yang mengerikan yang ia saksikan dengan
mata kepalanya sendiri pada masa peperangan tersebut.
Ia tidak tahu mimpinya
buruknya akan sampai mana dalam membawa kembali ingatannya pada masa lalu jika
benda yang disebut alarm itu yang bertugas membangunkannya pada pagi hari tidak
berdering. Namun ia tidak merasa lega juga karena mimpinya langsung membawanya
pada saat momen ia kehilangan kedua orang tuanya.
Banyak yang terjadi pada
saat itu, mereka bertiga berusaha untuk tetap bertahan hidup.
Setelah pertahanan mereka
ditembus, serangan dari musuh dalam waktu cepat dapat membuat negeri ini dalam
keadaan sangat terdesak.
Namun setelah itu entah
apa yang telah terjadi. Negeri ini tidak jadi jatuh dalam kehancuran melainkan
negeri musuhlah yang jatuh dalam kehancuran. Aksi pengkhianatan dalam wilayah
negeri musuh membuat negeri ini selamat. Itulah yang Rand tahu berdasarkan
cerita yang berkembang di masyarakat.
Negeri ini dapat
mengembalikan keadaan ke titik aman, namun mereka telah kehilangan banyak hal
dan banyak hal buruk yang terlahir akibat peperangan itu.
Tapi hal itu tidak
membuat orang – orang jatuh dalam rasa putus asa. Mereka berusaha keras untuk
mengembalikan apa yang telah mereka miliki sebelumnya, contohnya adalah dalam
segi kekuatan. Negeri ini mencari anak – anak yang memiliki potensi untuk
dilatih dalam akademi ksatria agar menjadi kekuatan negeri ini.
Sayangnya Rand tidak
termasuk ke dalam anak – anak berpotensi itu. Dari desanya yang telah kembali
dibangun dan sampai sekarang ia hanya
menghabiskan waktunya di sini.
“Aira...”
Ia menyebut nama
sepupunya. Sudah lama ia tidak melihatnya. Namun Rand merasa itu tidak terlalu
masalah baginya, setidaknya ia merasa bersyukur bahwa sepupunya itu masih hidup
dan sepupunya itu termasuk ke dalam anak – anak yang berpotensi itu.
Pandangan Rand tertuju
pada sebuah amplop yang berada di atas meja. Amplopnya masih dalam keadaan
tersegel meskipun telah sampai beberapa hari yang lalu. Itu adalah surat dari
Aira, meskipun dipisahkan oleh jarak yang jauh namun mereka masih dapat saling
berkomunikasi dengan saling bertukar surat.
Namun Rand belum sempat
membaca suratnya yang kali ini− mungkin jika Rand boleh jujur sebenarnya ia
merasa sangat takut. Banyak hal yang terjadi sebelumnya dan hal itu membuat
Rand mengurung dirinya di rumahnya.
Ia tinggal sendirian,
jadi entah apa yang terjadi jika ia terus menerus seperti ini. Tak lama setelah
Aira pergi berangkat ke akademi, pamannya juga pergi. Namun untuk pamannya,
Rand sama sekali tidak tahu ke mana pamannya pergi.
Namun meskipun begitu
Rand dapat menjalani kehidupannya dengan lancar. Pada saat itu memang ia tidak
termasuk ke dalam anak yang berpotensi namun ia tidak ada lelahnya untuk
berlatih agar dapat menggunakan pedang dan menjadi lebih kuat.
Ia dapat menghidupi
dirinya sendiri dengan ikut warga desa untuk membasmi monster yang berkeliaran di
dalam hutan. Bayarannya memang tidak terlalu seberapa meskipun nyawa adalah
taruhannya.
Tapi setidaknya pekerjaan itu dapat membuat Rand bertahan hidup.
Meskipun sebenarnya para
warga tidak ingin membiarkannya ikut ke dalam perkerjaan itu karena pada saat
itu Rand masih sangat muda. Namun Rand bersikeras karena ia tidak ingin hidup
karena belas kasihan dari orang lain.
Semua itu lancar Rand
jalani, namun empat hari yang lalu sesuatu terjadi saat Rand membasmi monster−
namun ia tidak ingin mengingatnya. Tubuhnya seketika menjadi terasa sangat
dingin saat teringat kembali.
Rand mengarahkan
tangannya ke arah amplop tersebut namun sebelum ia sempat meraihnya, ia
mendengar ada yang menggedor – gedor pintu rumahnya.
Ia segera menghapus air
mata dengan lengan bajunya namun meskipun begitu wajahnya tetap terlihat kacau,
itu membuatnya cukup khawatir.
Ia merasa tidak dapat bertatap muka dengan orang
jika seperti ini namun sepertinya suara pintu yang diketuk – ketuk dari luar
itu semakin keras seolah yang mengetuknya sudah tidak sabar.
Ia tidak dapat
memperkirakan siapa orang itu. Ia segera pergi menuju pintu depan lalu membukanya.
Di sana berdiri seorang
gadis yang terlihat seusia dengan dirinya atau mungkin agak lebih muda.
Perasaan terkejut dan bingung tercampur aduk dalam dirinya, ia tidak menyangka ada
seorang gadis datang ke rumahnya karena hampir semua kenalan Rand adalah orang –
orang dewasa.
Gadis tersebut memiliki
rambut berwarna cokelat pucat yang dikuncir seperti ekor kuda di sebelah kiri
kepalanya. Sepasang matanya yang berwarna merah bagaikan batu ruby menatap Rand
dengan tajam sambil memasang wajah sebal. Dari penampilannya Rand merasa bahwa
gadis tersebut cukup tidak asing baginya.
Rand memperhatikan gadis
itu sekali lagi, kali ini ia memperhatikannya dengan lebih teliti, dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Perasaan terkejutnya semakin naik ditambah rasa
panik.
Gadis itu mengenakan sebuah
seragam rapi berwarna merah dengan perpaduan warna keemasan. Selain itu, gadis
itu juga memiliki sebuah pedang yang terkait pada sabuk kulitnya. Yang ada
dalam benak Rand bahwa gadis itu adalah seorang ksatria.
Namun Rand tidak tahu kenapa
seorang ksatria datang ke rumahnya, ia yakin ia tidak melakukan sebuah
kesalahan−tidak, bisa dikatakan ia telah terkena sebuah masalah sebelumnya.
“M-maaf... ada perlu apa
Anda ke sini ?”
Sambil tersenyum Rand
mengatakan itu dengan berusaha untuk terlihat sopan, ia harap dirinya tidak
salah bicara. Namun sepertinya gadis itu semakin merasa sebal.
“Kenapa kau berkata
dengan formal seperti itu ? apa kau tidak mengenaliku ?”
Gadis itu berbicara
dengan nada seolah telah dibuat cukup kesal *clang*
Secara bersamaan muncul sebuah suara
seperti lonceng. Sepertinya suara itu berasal dari aksesoris ikat rambutnya
yang berbentuk dua buah bola.
Mendengar suaranya
membuat Rand seolah mengingat sesuatu. Memang suaranya terasa cukup tegas namun
Rand yakin suaranya sudah tidak asing bagi telinganya apalagi setelah mendengar
suara dari ikat rambutnya.
Dan jika digabung dengan
ciri – ciri fisiknya yang lainnya. Rand yakin ia telah mengenal gadis ini.
Jangan-jangan...
Rand segera teringat akan
seseorang.
“A-aira ?!”
Rand mengatakannya dengan
terkejut. Gadis itu menghelakan napas dengan berat sambil memasang wajah kecewa
namun sepertinya hal itu menandakan bahwa tebakan Rand benar.
“Aku tidak menyangka kau
akan lupa denganku...”
Tanpa dipersilahkan oleh
Rand, Aira masuk ke dalam rumah dengan sendirinya. Mungkin karena ia merasa
cukup kecewa dengan Rand. Ia masuk sambil membawa barang – barangnya yang cukup
banyak dan berat namun terlihat enteng baginya lalu menyimpannya setelah masuk
ke dalam.
“Hahaha...”
Rand hanya tertawa hampa
dengan pelan. Ia merasa hal itu sudah tidak dapat ia hindari mengingat mereka
berdua sudah tidak bertemu selama delapan tahun terlebih lagi Aira terlihat
banyak perubahan dimatanya.
Apa – apaan auranya ini−
pikir Rand.
Atmosfer yang sangat
memberi tekanan dan mengintimidasi dapat ia rasakan dari sepupunya itu. Ia
tidak menyangka sepupunya yang dulu ia anggap sebagai adik kecilnya dapat
mengeluarkan aura seperti itu.
Seperti yang diharapkan
seseorang yang telah menjalani pelatihan dari akademi ksatria.
Rand bangga Aira sudah
menjadi perempuan yang hebat namun di sisi lain ia merasa malu dan juga kesal
karena dirinya jauh dari Aira. Padahal ia sangat ingin melindunginya, ia tidak
ingin kehilangan anggota keluarganya lagi.
“Kenapa kau malah melamun
seperti itu ? dan juga apa yang telah terjadi denganmu ? apa kau habis menangis
?”
Aira membuyarkan
lamunannya. Rand segera berusaha untuk fokus dan mengusap–usap matanya. Ia
tidak dapat menyembunyikannya, siapa pun pasti akan menyadarinya bahwa Rand
telah menangis.
Sial, aku tidak boleh seperti ini−Ia memarahi dirinya sendiri dalam hati.
“T-tidak... hanya saja
aku agak kelelahan karena tidak sempat tidur malam ini...”
Rand berbohong. Padahal
ia tidak perlu menyembunyikan hal itu namun karena beberapa alasan ia memilih untuk
tidak mengatakannya.
“Hmm...”
Aira hanya menyipitkan
matanya sambil menyuarakan itu. Sepertinya ia menyadarinya kalau Rand telah
berbohong namun ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya.
“Oh iya, aku tidak
melihat ayahku, apa dia sedang keluar ?”
Setelah melihat
sekelilingnya Aira mengatakan itu karena tidak dapat menemukan sosok ayahnya.
“Sebenarnya tak lama
setelah kau pergi... paman juga pergi...”
Dengan merasa tidak enak
Rand menjawabnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“...”
Aira terdiam karena
saking terkejutnya.
“Ia tidak pernah kembali
lagi, aku juga tidak tahu beliau pergi ke mana. Tapi kuharap beliau sampai
sekarang pun baik – baik saja.”
Memang pamannya itu pergi
begitu saja namun meskipun begitu Rand tidak berpikiran buruk mengenainya dan
tetap mengharapkan keselamatannya sampai sekarang.
“Kenapa kau tidak
memberitahuku...”
Aira mengatakannya dengan
nada yang rendah. Ia kecewa, pada Rand maupun ayahnya. Namun tentunya ia
beratkan pada ayahnya karena telah mendengar kenyataannya dari Rand.
“Ada beberapa alasan...
tapi jangan khawatir, aku dapat mengatasinya kehidupanku sendiri− selama
ini...”
Rand ingin mengatakan
kalau hidupnya selama ini baik – baik saja meskipun tanpa pamannya. Namun
kejadian yang terjadi beberapa hari yang lalu tentunya tidak dapat ia lupakan
begitu saja. Itu adalah titik di mana kehidupannya tidak berjalan mulus lagi.
“Tapi wajahmu tidak
mengatakan hal itu. Apa yang telah terjadi ?”
Aira mengatakannya dengan
curiga. Ada jeda sebelum Rand mengatakan kata terakhirnya tadi, wajahnya juga
terlihat seolah merasa tidak enak.
Sebenarnya tidak masalah
jika harus menceritakan semuanya pada Aira. Rand sendiri agak keras kepala
juga, sebelumnya ia memiliki pribadi yang tidak mau kalah dengan Aira meskipun
awalnya perbandingan mereka sangat jelas.
Namun ia menanamkan ke
hatinya kalau kerja keras dapat mengatasinya. Itu bekerja, ia tidak tahu
sebenarnya kemampuannya seimbang atau tidak dengan Aira yang berada di akademi
namun setidaknya ia mendapatkan pengakuan dari warga desa dan para pemburu
monster.
Tapi sekarang baginya itu
hanya mimpi baginya dan ia sudah bangun sekarang dan menghadapi hidup yang
kejam.
“Tidak ada apa – apa...
hanya saja aku bermimpi buruk tadi...”
Rand tetap tidak dapat
mengatakannya. Akan bagus jika itu benar – benar hanya sebuah mimpi. Tapi
kenyataannya kehidupannya yang lancarlah yang bagaikan mimpi sekarang.
“Omong – omong kenapa kau
pulang sekarang ?”
Tiba – tiba Rand
mengatakan topik yang lain. Aira tahu kalau Rand tidak mau menceritakan yang sebenarnya.
Kenyataan mengenai ayahnya membuatnya sangat terkejut namun yang dikatakan oleh
Rand sekarang tetap membuatnya sangat terkejut.
“Jangan – jangan kau
tidak membaca surat dariku...”
Aira membuat ekspresi
kesal. Itulah kenyataannya, memang benar Rand belum membacanya. Ia mau
membacanya tadi namun Aira terlebih dahulu sampai di sini.
“M-maaf...”
Ia hanya dapat meminta
maaf. Mencari alasan tidak ada gunanya, itu hanya akan mempersulit keadaan.
Mendengar itu Aira menghela napas.
“Hah... aku sudah lulus sekarang
dan akan secepatnya pulang ke rumah. Itulah inti dari suratku.”
Aira mengatakan inti dari
suratnya. Meskipun agak kecewa namun ia tidak marah. Meskipun tidak tahu dengan
jelas karena Rand tidak menceritakannya namun ia menyadari kalau ada masalah terhadap
Rand. Karena itu ia memakluminya.
“Begitu ya. Selamat atas
kelulusanmu !”
Rand mengepalkan
tangannya di belakang tubuhnya. Tangannya seperti itu bukan karena maksud
terhadap Aira namun terhadap dirinya. Padahal itu adalah pesan yang penting
namun ia tidak segera membacanya. Ia sangat kesal dengan dirinya sendiri.
Namun ia terlihat senang
saat mengatakannya. Itu tidak dibuat-buat, perasaannya murni merasakan hal itu
setelah mendengarnya dari Aira.
“Maaf aku tidak dapat
menyambutmu atau pun membuat perayaan untukmu...”
Rand mengatakannya dengan
nada yang terdengar suram. Seharusnya ini menjadi momen yang bagus namun Rand
sangat menyesal karena tidak dapat mewujudkannya. Ayah Aira juga tidak ada di
sini, itu membuat kelulusannya sama sekali tidak berwarna.
“Apa yang kau bilang ?
itu semua tidak perlu ! sebenarnya... dapat bersama denganmu lagi aku sudah
sangat senang− yah, meskipun tidak ada ayah di sini.”
Dengan ekspresi yang
campur aduk Aira mengatakannya. Ia agak malu untuk mengungkapkan perasaannya.
Rand tidak tahu bagaimana untuk menanggapinya tapi yang pastinya ia merasa
senang mendengar itu.
“Kalau begitu aku mau
pergi keluar dulu sebentar. Silakan istirahat di sini, aku akan segera kembali
!”
Rand dengan tergesa –
gesa masuk ke dalam kamarnya lalu tak lama kemudian ia pergi ke luar rumah.
Dalam kebingungan Aira
hanya terdiam memperhatikan Rand yang berbicara sambil berlarian. Ia tidak tahu
maksud dari Rand.
“Hah... ada apa
dengannya...”
Aira menghela napas
setelah Rand pergi ke luar. Namun dalam pandangannya sepertinya itu bukan
sesuatu yang gawat, karena itu ia membiarkannya. Lagi pula ia benar – benar
kelelahan sekarang.
Ia akan menuruti perkataan
Rand untuk beristirahat.